Media Regulation
by Unknown
Halo para pembaca,
apa kabar?
Setelah beberapa waktu ini tidak mengunggah post mengenai perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi, akhirnya kami akan membahas suatu hal baru bersama kalian.
Jika kalian telah membaca isi blog kami sebelumnya, tentunya kalian akan mengetahui apa itu konvergensi media dan pengaruhnya. Tetapi, jika memang lupa apa itu konvergensi media, jangan khawatir. Kami akan membahas kembali di postingan ini sehingga kalian tidak perlu meng-click tombol back dan membaca postingan sebelumnya karena kami sendiri pernah berada di posisi Anda—yaitu ingin membaca sesuatu namun karena tidak terlalu paham akan suatu hal waktu kita terhambat dan harus mencari suatu hal tersebut baru bisa membaca lebih lanjut.
Sumber: https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/originals/b7/95/ed/b795ed6ce48e7e9a7b8e26c613c0cdf7.jpg |
Terdapat berbagai macam pengertian dari konvergensi media, sebagaimana menurut Erdal (2011, p. 216) dapat dimengerti sebagai sebuah proses penggabungan sistem informasi, telekomunikasi, dan teknologi media. Sedangkan menurut Jenkins (2006) konvergensi media merupakan aliran konten di beberapa platform media—proses yang seharusnya tidak dilihat sebagai perpindahan dari media lama ke baru namun sebagai interaksi bentuk (platform) media yang berbeda. Tentunya adanya konvergensi media akan berpengaruh kepada kehidupan kita sebagai manusia sosial—seperti hadirnya internet dan media sosial—sekaligus menumbuhkan regulasi baru yang berhubungan dengan perubahan-perubahan yang terjadi.
Sumber: https://australiavamerica.files.wordpress.com/2014/04/media-regulations-1.jpg |
Salah satu perubahan yang terjadi tersebut adalah bagaimana kita semua mempunyai hak untuk berbicara di dunia maya dan ada regulasi yang mengatur sejauh apa kita ‘diperbolehkan’ untuk menyuarakan opini kita. Regulasi ini bernama Regulasi Media, yaitu seperangkat peraturan yang mengacu pada seluruh proses kontrol atau bimbingan, dengan aturan dan prosedur yang diterapkan oleh pemerintah, atau otoritas politik dan administrasi lainnya untuk seluruh jenis kegiatan media (University of Leicester, 2010). Di Indonesia sendiri terdapat beberapa regulasi media yaitu seperti UU No. 14 Tahun 2008, UU No. 40 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2002, UU No. 5 Tahun 1999, dan UU No. 11 Tahun 2008 atau yang lebih sering dikenal sebagai UU ITE.
UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) ini sempat marak dibicarakan oleh media karena ia mengatur hal-hal apa pun yang berhubungan dengan elektronik seperti informasi, transaksi, dokumen, sistem, penyelenggaraan sistem, dan lainnya yang berbentuk digital. Namun, hal yang akan dibahas lebih lanjut dari UU ITE ini adalah mengenai pencemaran nama baik yang tertera pada Pasal 27 ayat 3 UU tersebut dan hubungannya dengan hak kita memberikan opini di dunia maya.
Sebagaimana yang kami yakin kalian pernah alami, kita semua bebas mengutarakan pendapat kita di internet dan di media sosial. Selesai menonton film baru di bioskop dan tidak suka? Siapapun bisa menceritakan kejelekan-kejelekannya di Facebook atau Twitter. Melihat artis yang tidak disukai dan memberi komentar buruk? Sekarang semua orang bisa memberi komentar langsung kepada artis melalui akun Instagram atau Twitter official mereka. Masih banyak contoh lainnya, tetapi kami yakin kalian memahami maksud dari apa yang baru dikatakan. Ya, pada dasarnya semua orang mempunyai kebebasan serta hak untuk berbicara—memang ini merupakan Hak Asasi kita sebagai manusia. Namun, hal ini terlebih lagi dapat dirasakan di dunia maya yang banyak merasa konsekuensinya tidak langsung dapat dirasakan. Jika seseorang memberi komentar negatif secara langsung—berhadapan muka—dibandingkan hanya melewati sebuah layar, tentu tidak bisa diatasi secara langsung, bukan? Maka dari itu, di sini lah UU ITE berperan agar semua orang tidak bisa bertindak secara sewenang-wenang dan memberi dampak buruk bagi yang telah diberi komentar negatif.
Sumber: https://i.ytimg.com/vi/O8evIvz_fIM/hqdefault.jpg |
Salah satu contoh kasus mengenai
seseorang yang terkena dampak UU ITE adalah Prita Mulyasari. Beliau merupakan salah
seorang pasien dari rumah sakit Internasional Omni di Tangerang Selatan dan ia divonis
melanggar hukum akibat surat keluhan yang dianggap sebagai pencemaran nama baik
rumah sakit tersebut. Kasus ini bermula dari email Prita yang dikirimkan ke
beberapa temannya, berisikan keluhan mengenai pelayanan dari Rumah Sakit Omni
yang tidak baik. Namun, email tersebut beredar ke beberapa mailing list serta forum di internet sehingga akhirnya diketahui
oleh pihak rumah sakit tersebut. Rumah Sakit Omni tidak menerima adanya email
Prita yang bertebaran di dunia maya karena dianggap sebagai bentuk pencemaran
nama baik sehingga mereka merasa harus membawa hal ini ke ranah hukum. Akhirnya,
pihak Rumah Sakit Omni dapat menggugat Prita dengan didukung kehadiran UU ITE.
Kasus ini terjadi pada tahun 2012 silam, namun masih bisa diangkat sebagai contoh. Namun, hal yang mengganjal dari kasus ini adalah sebenarnya terdapat ketidaksesuaian antara UUD 1945 pasal 28E ayat (2) dan ayat (3) serta pasal 28F dengan UU No. 11 tahun 2008 pasal 27 ayat (3) dan pasal 28 ayat (2). Pada pasal-pasal yang disebutkan tersebut, dicantumkan bahwa setiap orang berhak menyatakan pikiran, sikap, berpendapat, menyampaikan informasi, menggunakan segala jenis saluran yang tersedia, dan lainnya yang berhubungan dengan kebebasan seseorang mengungkapkan opininya. UU ITE telah berubah dari tujuan dasarnya yang sebelumnya dibuat untuk melindungi masyarakat dari kejahatan dunia maya menjadi alat bagi mereka, terutama perusahaan besar, yang merasa namanya dirugikan. Hal ini diketahui karena 95 persen kasus UU ITE terkait dengan pencemaran nama baik saja.
Selain itu berdasarkan dari pasal-pasal tadi, apakah benar kasus Prita Mulyasari tersebut merupakan sebuah pencemaran nama baik? Ia hanya mengutarakan opininya serta memberi tahu keluhan yang menurut kami pantas dikatakan karena jasa sebuah rumah sakit tentu harus baik karena selain untuk mengobati diri kita yang sakit, tentu untuk membuat seorang pasien senyaman mungkin apalagi jika telah membayar biaya yang cukup besar karena hal tersebut. Prita tidak membual, ia hanya memberi tahu fakta yang ia alami sendiri di Rumah Sakit Omni. Pada akhirnya memang Prita tidak dinyatakan bersalah sehingga kita tahu bahwa yang dia lakukan bukanlah hal yang seharusnya dibawa hingga ke ranah hukum.
Sekian postingan hari ini, sampai bertemu di postingan berikutnya!
Referensi:
Erdal, I. (2007). Researching Media Convergence and Crossmedia News Production. Nordicom Review, 28(2), 51-61.
Jenkins, H. (2006). Convergence Culture: Where Old and New Media Collide. New York, US: NYU Press.
University of Leicester. (2010). Media Regulation. Diakses pada 20 April, 2017, dari https://www2.le.ac.uk/projects/oer/oers/media-and-communication/oers/ms7501/mod2unit11/mod2unit11cg.rtf
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. http://jdih.pom.go.id/uud1945.pdf. Diakses pada Selasa, 20 April 2017 pukul 11.12 WIB
Marvin, P. Kebebasan Berpendapat Sebagai Hak Asasi Manusia. https://www.academia.edu/29486704/Kebebasan_Berpendapat_Sebagai_Hak_Asasi_Manusia
http://www.kompasiana.com/iskandarjet/kronologi-kasus-prita-mulyasari_54fd5ee9a33311021750fb34. Diakses pada Selasa, 20 April 2017 pukul 10.47 WIB.
JackpotCity | Best Casino, Slots, Table Games, and more
ReplyDelete› casino-slots › casino-slots JackpotCity offers a 제주 출장샵 wide 대전광역 출장샵 selection of live games, online poker and งานออนไลน์ slots. Enjoy huge sign-up bonuses, the largest and best 광명 출장샵 online slots promotions on the web. The 경주 출장샵 site